Merawat Jiwa, Menguatkan Iman: Dukungan Komunitas Bagi Kesehatan Mental

Edisi Oktober - Desember 2025

ARTIKEL

Kartika S. Sitorus (Alumna PMK Jatinangor'98)

12/1/2025

Isu kesehatan mental semakin menjadi sorotan di berbagai kalangan sekarang ini. Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan bahwa ada satu di antara lima orang Indonesia ditemukan mengalami masalah terkait kondisi mental. Data lainnya yang diperoleh dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia pada tahun 2022, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, dan berdasarkan data Asia Care Survey 2024, gangguan kesehatan mental yang paling banyak dikhawatirkan masyarakat Indonesia adalah stress/burnout, gangguan tidur, kecemasan, kesepian, dan depresi.

Menurut WHO, kesehatan mental adalah keadaan kesejahteraan mental yang memungkinkan seseorang untuk mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuan yang dimiliki, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitas di sekitarnya. Kondisi kesehatan mental yang terganggu tentu akan sangat berdampak pada fungsi dan produktivitas tidak hanya pada individu tersebut, tapi juga lingkungan dimana ia berperan. Memperhatikan hal ini, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah maupun institusi mulai membuat program dan menyediakan layanan yang terkait dengan kesehatan mental para pekerjanya. Misalnya saja di lembaga kementerian tertentu dilakukan asesmen psikologi untuk mengetahui kondisi kejiwaan para pegawai yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyediaan layanan konseling atau terapi bagi mereka yang terdeteksi mengalami masalah ataupun yang membutuhkannya. Sejalan dengan itu, keberadaan layanan konseling secara online dan aplikasi terapi mental berbasis digital tumbuh pesat di Indonesia. Menurut data dari Asosiasi Psikologi Digital Indonesia (APDI), sepanjang tahun 2024 hingga awal 2025, ada peningkatan sekitar 82% pengguna layanan konseling online. Pengguna aplikasi terapi mandiri seperti Riliv, Mindtera, dan Serene juga meningkat hingga tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa banyak orang—termasuk orang Kristen—sedang berjuang dengan beban mental yang nyata. Iman tidak membuat kita kebal terhadap masalah kesehatan mental. Bahkan tokoh-tokoh Alkitab seperti Elia (1 Raja-raja 19) dan Daud (Mazmur 38) bergumul dengan keputusasaan yang mendalam. Kejatuhan manusia dalam dosa memang telah menimbulkan banyak penderitaan dan kesulitan, namun penyakit mental bukanlah akibat langsung dari dosa pribadi. Faktor-faktor seperti kondisi biologis, kepribadian, spiritualitas, lingkungan keluarga, atau bahkan situasi sosial yang menantang dan kombinasi diantara berbagai faktor tersebut, berkontribusi menimbulkan masalah pada kondisi mental seseorang.

Ketika seseorang mencoba jujur mengungkapkan pergumulan mental yang dialami kadangkala ada stigma, prasangka, bahkan diskriminasi yang dihadapi. Apalagi dalam konteks sebagai orang Kristen, kita masih mendapati konsepsi yang keliru tentang kesehatan mental, misalnya menganggap masalah-masalah mental seperti depresi dan kecemasan adalah akibat dosa, karena kurang bersyukur, kurang berdoa, dan kurang beriman kepada Tuhan. Respons seperti “Tuhan tidak akan memberikan pencobaan lebih dari yang mampu kamu hadapi”; “Mungkin kamu perlu lebih banyak berdoa”, semakin menimbulkan rasa sakit, perasaan bersalah, tidak dimengerti, dan tidak percaya kepada orang lain. Akhirnya kita pun berusaha berjuang sendiri, enggan menceritakannya kepada orang lain, tidak mau mencari bantuan, bahkan menghindar dari komunitas Kristen yang selama ini diikuti.

Merawat jiwa adalah bagian dari menguatkan iman. Kitab Mazmur berulang kali menekankan bahwa harapan kita ada di dalam Tuhan, bahkan ketika kita putus asa. Harapan yang disampaikan oleh Allah melalui firman-Nya tidak menjanjikan kelegaan instan, tetapi mengalihkan sumber harapan kita dari keadaan kita kepada Tuhan yang memelihara dan menghibur kita. Kita melihat contoh ini dalam kehidupan Charles Spurgeon (1834-1892). Ia terkenal karena khotbah-khotbahnya, tetapi ia menderita sakit fisik serta kecemasan dan depresi. Spurgeon menulis, “Kita mencoba memikirkan apa yang kita kira akan Dia lupakan; kita bersusah payah menanggung beban kita yang berat, seolah-olah Dia tidak mampu atau tidak mau menanggungnya bagi kita. Kecemasan membuat kita meragukan kasih setia Allah, sehingga kasih kita kepada-Nya menjadi dingin.” Spurgeon bersikap transparan tentang penderitaannya, dan ia selalu berpaling kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan. Allah dapat menggunakan penderitaan sebagai bagian dari pengudusan kita. Penderitaan tidak menghalangi karya Roh Kudus yang terus menerus berupaya untuk menjadikan kita serupa dengan gambar Kristus.

Yesus sendiri menunjukkan perhatian pada kondisi emosional manusia. Dia menangis bersama orang yang berduka (Yohanes 11:35), menguatkan yang takut (Matius 14:27), dan mengundang yang letih lesu untuk mendapatkan kelegaan (Matius 11:28). Sama seperti kita tidak akan menyalahkan seseorang karena mengalami penyakit fisik, kita juga tidak boleh menganggap rendah seseorang karena membutuhkan dukungan kesehatan mental. Dukungan sederhana—seperti mendengarkan, mendoakan, atau menemani—dapat menjadi cahaya bagi jiwa yang sedang gelap. “Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu, seperti yang memang kamu lakukan.” (1 Tesalonika 5:11). Ketika komunitas Kristen hadir sebagai sahabat bagi mereka yang berjuang, kita sedang mewujudkan kasih Kristus yang nyata.

Komunitas Kristen dipanggil bukan hanya untuk berdoa bersama, tetapi juga menjadi ruang aman bagi mereka yang sedang berjuang dengan beban jiwa. Galatia 6:2 mengatakan “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Tuhan juga seringkali memberikan penyembuhan melalui hubungan dan interaksi yang terjadi, baik melalui komunitas seperti kelompok kecil, maupun persahabatan yang dapat dipercaya. Ketika kita tergabung dalam kelompok dengan fondasi iman yang sama, ikatannya menjadi lebih erat—aman, kokoh, dan bermakna. Dalam komunitas yang didasari oleh kasih Kristus, kita bisa saling menguatkan, membangun, dan memperlengkapi, dan menjadi tempat yang aman untuk bersikap autentik dengan segala keberadaan kita. Marilah kita berupaya menjadi bagian dari gereja dan komunitas Kristen yang dipanggil untuk menjadi ruang pemulihan, tempat dimana iman dan kasih bertemu dengan kebutuhan jiwa.

four person hands wrap around shoulders while looking at sunset
four person hands wrap around shoulders while looking at sunset

Kartika S. Sitorus

Alumna PMK Jatinangor'98