Kasih di Tempat Sulit
Edisi Apr - Mei'24
ARTIKEL
Deby Johannis
5/8/20243 min read
Ada sebuah legenda tentang seorang rabi yang menyambut seorang pelancong yang letih untuk beristirahat semalam di rumahnya. Setelah mengetahui bahwa tamunya berusia hampir seratus tahun, rabi itu bertanya tentang keyakinan agamanya. Tamunya menjawab, "Saya seorang ateis." Dengan marah rabi itu mengusir tamunya dan berkata, "Saya tidak dapat menampung seorang ateis di rumah." Tanpa sepatah kata pun lelaki tua itu berjalan tertatih ke arah kegelapan jalan. Kemudian rabi itu pun duduk dan membaca Kitab Suci. Saat itulah, dia mendengar suara, "Anak-Ku, mengapa engkau mengusir lelaki tua itu?" Jawab sang rabi, "Karena ia seorang ateis, dan saya tidak dapat menerimanya bermalam!" Suara itu pun menjawab, "Aku telah menerimanya selama hampir seratus tahun." Merasa tertegur, rabi itu bergegas keluar, membawa lelaki tua itu kembali, dan memperlakukannya dengan ramah.
Seperti rabi dalam kisah di atas, perbedaan keyakinan bisa jadi alasan kita untuk tidak mau mengasihi orang lain, terlebih jika orang tersebut berasal dari golongan yang sering melakukan bullying atau bahkan persekusi terhadap iman kita. Padahal di tengah zaman di mana perbedaan agama, suku, budaya dan worldview paling sering menjadi komoditi viral yang cepat memantik konflik, Tuhan memanggil kita untuk menerima dan mengasihi orang yang lain, yang berbeda keyakinan, bahkan membenci kita, karena Dia mengasihi mereka juga. Tentu ini bukan panggilan yang muda, karena berlawanan dengan natur egois kita, yang lebih nyaman dengan mereka yang sama, dan ingin menjauh dari mereka yang berbeda atau membahayakan kita.
Dalam khotbah-Nya di bukit, Tuhan Yesus menyatakan panggilan ini melalui perintah, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Mengapa Yesus memerintahkannya? Pada masa itu berkembang pengajaran para pemuka agama Yahudi yang mengajarkan “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” (Mat. 5:43). Frasa “Kasihilah sesamamu manusia” memang berasal dari pengajaran Taurat, tetapi dalam perkembangannya kata “sesamamu” di sini ditafsirkan hanya sebagai mereka yang senegeri, sebangsa, dan seagama semata. Itulah golongan orang yang berkenan mereka terima sebagai teman. Konsekuensi logisnya, untuk mereka yang di luar golongan tersebut, berlaku “bencilah musuhmu.” Ini sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran yang Allah maksudkan sehingga Yesus pun mengoreksinya.
Bagi Yesus, kasih yang sejati itu melampaui kebencian, bahkan penganiayaan. Kasih itu menjangkau hingga ke “tempat-tempat” sulit, di mana kasih itu ditolak, sebab Allah rindu semua orang (termasuk mereka yang membenci dan menganiaya umat-Nya) dapat mengenal kasih-Nya dan bertobat. Kalau begitu, apakah atas nama kasih kita harus menganggap kebencian dan penganiayaan yang terjadi sebagai angin lalu saja? Tidak. Yang perlu diingat, kasih tidak menganulir kejahatan yang menghancurkan orang. Mereka yang jelas-jelas menentang dan menghujat Allah serta menganiaya umat-Nya, seharusnya tidak diperlakukan dengan berkat, tetapi dengan hukuman supaya keadilan dapat ditegakkan. Bagaimana caranya? Dengan menyerahkannya pada tangan Allah yang adil sekaligus kasih, sebab “Pembalasan itu adalah hak-Ku, Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan” (Rm. 12:19).
Yang menarik, dari perintah mengasihi musuh di atas, Tuhan Yesus menyebutkan juga cara bagaimana memanifestasikan kasih di tengah tempat sulit, di mana kebencian dan persekusi hadir, yaitu dengan berdoa bagi musuh. Mengapa berdoa? Bukankah doa tampaknya terlalu lemah untuk menjadi senjata kesaksian yang menyadarkan musuh? D. A. Carson menyatakan, “... sulit untuk membenci mereka yang kita doakan, sulit untuk tidak berdoa bagi mereka yang kita kasihi.” Meski tampak sederhana, doa dapat mengubahkan tempat yang sulit (baca: tandus) menjadi tempat yang subur di mana kasih bertumbuh dan diwujudkan bagi para musuh kita. Itulah yang Yesus peragakan ketika tergantung di kayu salib.
Dalam kesakitan yang luar biasa, Yesus tetap berdoa bagi musuh-musuh-Nya. Dia berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Doa itu pada akhirnya membuahkan kasih dan pengampunan Allah bagi para seteru, termasuk bagi saudara dan saya. Jadi jika Yesus berdoa bagi para musuh-Nya, yang membenci dan menganiaya Dia, maka sebagai umat tebusan-Nya, kita pun harus meneladani-Nya. Dengan cara demikianlah kesaksian kita dinyatakan dan semua orang akan tahu bahwa kita adalah anak-anak dari Bapa yang kasih-Nya tiada batas.


Deby Johannis
Alamat
Sekretariat Bandung (CP14)
Jalan Cipaku Permai No.14, Bandung, Jawa Barat 40143
Sekretariat Jatinangor (HOJ)
Jalan Raya Jatinangor No.295, Hegarmanah, Kec. Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45363