Hatiku Siap, Ya Allah!

Edisi Apr - Mei'23

ARTIKEL

Edvin William Handoko

5/31/20232 min read

Mengupayakan Persekutuan dengan Allah di dalam situasi apapun

“Hatiku siap, ya Allah, aku mau menyanyi, aku mau bermazmur. Bangunlah, hai jiwaku,”
Mazmur 108 : 2

Ayat ini merupakan perikop yang saya renungkan dalam saat teduh beberapa minggu yang lalu. Ini bukan kali pertama saya membaca ayat tersebut. Namun, saya menemukan sesuatu yang menarik di dalam perenungan saya pada waktu itu. Nyanyian yang berisi tentang syukur dan doa Daud ini diawali dengan frasa “Hatiku siap.” Di dalam terjemahan bahasa Inggris (ESV), bagian tersebut berbunyi, “My heart is steadfast, O God!” yang dapat diartikan juga sebagai “Hatiku teguh, ya Allah!” Saya menyukai gambaran yang indah sekaligus penting dari pernyataan Daud terhadap keteguhan hatinya. Daud seperti berkata lewat pernyataan ini bahwa sekalipun hatinya dapat teralihkan, goyah, atau ragu akan segala kondisi yang bisa terjadi dalam kehidupan, dia mau melandaskan segala rasa syukur dan doanya pada hati yang percaya penuh terhadap Tuhan. Bagaimana Daud bisa menyatakan hal tersebut? Hal ini tidak lepas dari persekutuan Daud bersama dengan Tuhan yang tergambar sepanjang kitab Mazmur.

Mazmur merupakan “Sefer Tehilim”, buku puji-pujian bangsa Israel yang ditulis oleh Daud dan beberapa pengarang lainnya. Mazmur berisi nyanyian dan doa yang digunakan secara individual maupun dalam konteks kelompok seperti ibadah dalam berbagai genre, seperti pertobatan, hikmat, kutukan, dll. Tidak ada kitab lain di Alkitab yang demikian terang-terangan mengungkapkan perasaan dan kebutuhan manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesama dan dunia ini seperti apa yang Daud tuangkan lewat mazmur-mazmurnya. Daud berbicara secara jujur tentang pikiran dan perasaan yang hadir dalam kehidupannya bersama dengan Allah. Daud memberikan teladan yang baik, tetapi sering tidak kita sadari di dalam membangun persekutuan dengan Allah.

Kita dapat dengan mudah mengubah persekutuan kita dengan Allah menjadi sebuah “ritual” belaka. Kita memang tidak memakai sajadah, hio, atau alat-alat keagamaan lainnya untuk berjumpa dengan-Nya. Namun, perjumpaan kita dengan Allah dapat terkotakkan di dalam disiplin rohani kita yang menjadi rutinitas tanpa makna. Saat Teduh kita hanya sarana “clock in”, supaya kita tidak terhitung absen di dalam berkat Tuhan. Doa-doa kita menjadi mantra sebelum atau sesudah kita melakukan sesuatu agar menghindari hal-hal buruk terjadi. Bukankah anugerah-Nya mengundang kita bukan untuk bertransaksi melainkan berelasi dengan Dia?

Apa yang diteladankan oleh Daud menjadi tempat yang baik untuk memulai relasi yang autentik dengan Tuhan. Mazmur memberikan gambaran jelas bahwa Tuhan memanggil setiap kita untuk membuka dan menuangkan isi hati kita di hadapan Allah. Pernahkah kita: mengungkapkan kelelahan terhadap pekerjaan yang sedang kita hadapi di atas motor menuju kantor? mengutarakan ketakutan terhadap ujian yang akan kita hadapi sebagai siswa/mahasiswa di atas kasur kamar kita? menyatakan kekecewaan terhadap perlakuan teman kita pada saat mandi? Tidak ada yang membatasi kita untuk bertemu dengan Dia, bukan? Dengan demikian, persekutuan dengan Allah tidak menjadi hal yang sulit untuk diupayakan. Namun, kita perlu melatih diri agar dapat membiasakan hal tersebut, terlebih di zaman yang serba terburu-buru.

KehadiranNyatidakdapatkitarasakanjikakitaterlalusibukdenganapayangkitalakukan. Sulit bukan membaca kalimat tersebut? Sama seperti spasi yang membuat rangkaian kata-kata tersebut menjadi lebih mudah dibaca dan dimengerti, kehidupan kita juga membutuhkan spasi agar memberikan kesempatan bagi kita untuk mengalami Dia lebih lagi. Memberi spasi dalam hidup adalah langkah aktif untuk membangun ritme agar dapat menyambut karunia-Nya dan membuka diri secara utuh dihadapan-Nya.

Mengupayakan persekutuan dengan Allah dalam situasi apa pun bukanlah hal yang mustahil. Kita dapat menghubungi-Nya 24/7 tanpa menggunakan mantra atau ritual apa pun, dan datang dengan penuh keterbukaan menuangkan segala isi hati dan pikiran. Namun, kita perlu melatih kesadaran kita akan kasih setia-Nya di tengah segala hiruk-pikuk kehidupan ini. Dia, di dalam segala kemegahan dan keagungan-Nya, akan menyambut setiap seru pujian dan jerit ratapan kita dengan penuh perhatian. Maukah kita datang dan bersekutu dengan-Nya di dalam keseharian kita?