Biji Gandum yang Jatuh ke Dalam Tanah dan Mati

Edisi Agustus - September 2024

ARTIKEL

Gnade Natasya (Staf Mahasiswa Perkantas Jabar)

9/6/2024

Yohanes 12:24, Matius 28:18-20

Setelah masa pandemi, setiap orang mengalami penyesuaian hidup. Hal ini terjadi pula pada sarana pertumbuhan yang Tuhan anugerahkan bagi orang percaya. Sebagai seorang staf penuh waktu yang melayani mahasiswa, saya sendiri melihat perubahan krusial yang terjadi di persekutuan kampus ketika berbicara tentang pemuridan. Sepertinya ada sebuah celah yang membuat visi pemuridan harus digaungkan untuk kembali pada hakikatnya. Pemuridan di kampus mengalami degradasi, karena perubahan dari online ke onsite, serta terbatasnya kehadiran yang menjadi kunci dari pemuridan. Generasi terdahulu terbatas membagikan nilai penting dari sebuah pemuridan kepada generasi yang di bawahnya. Kegagalan mentransfer visi ini ternyata berakibat luas dan perlu waktu untuk membenahinya. Tidak mengherankan jika persekutuan di kampus-kampus kekurangan mahasiswa yang berkorban melayani Tuhan. Jelas karena mereka belum menangkap hati sebagai seorang murid. Sederhananya, hal ini terjadi karena mereka tidak menjalani esensi pemuridan yang benar.

Beberapa waktu lalu, kakak rohani sekaligus rekan sepelayanan saya memberikan sebuah buku berjudul Biji Gandum - Hamba yang Setia Hingga Akhir. Buku ini menuliskan pengalaman seorang pejuang pemuridan. Penulis mencoba menggambarkan makna pemuridan dengan tujuan membagikan kobaran api pemuridan yang dikerjakan ayahnya selama hidup hingga tiba dipanggil pulang oleh Bapa di sorga. Bagi ayahnya (Alm. Gunawan Sri Haryono - Staf Perkantas Solo), pemuridan merupakan sebuah proses yang bukan hanya sekadar mengejar prinsip-prinsip abstrak, tetapi menekankan pada perubahan keyakinan yang terwujud pada tingkah laku. Maka, pemuridan membutuhkan waktu, sehingga tidak ada jalan pintas dalam pemuridan. Pemuridan bukan sekadar mengajar, tetapi pemuridan harus sampai pada pengalaman dan perubahan kehidupan dari seorang murid. Pemuridan adalah penentu di dalam hidup orang percaya yang bertumbuh menjadi pemimpin-pemimpin hebat.

Di saat banyak orang mencari-Nya, Yesus mengungkapkan satu hal yang menandakan kematian-Nya tidak akan lama lagi. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah (Yohanes 12:24). Yesus menggambarkan diri-Nya seperti biji gandum yang harus jatuh ke dalam tanah dan mati, agar kematian-Nya menjadi sumber bertumbuh tunas yang baru dan menghasilkan buah yang banyak. Bagi kita, arti kata ‘mati’ adalah mati bagi keinginan kita. Kita berjuang melakukan kehendak Tuhan, bukan menurut keinginan daging kita lagi. Selain itu, ‘mati’ atas kekuatan kita, dan bergantung sepenuhnya kepada Allah, sehingga hanya oleh kuasa-Nya kita bersandar.

Yesus rela meninggalkan kenyamanan. Ia turun ke bumi dan menjadi manusia sama seperti kita, agar kita yang berdosa bisa diselamatkan. Kalau biji itu tetap di atas meja, sekalipun itu adalah biji yang indah dan dikagumi banyak orang, ia tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada lagi harapan bagi kita untuk hidup di dunia maupun di kekekalan. Tanpa inisiatif dari-Nya, kita akan terus-menerus terjebak dalam dosa. Tanpa inisiatif dari-Nya, kita akan terus-menerus mengalami keterpisahan dengan Allah. Kasihlah yang menggerakkan Dia untuk berkorban, agar kita dapat bertumbuh. Kita bisa berbuah karena Yesus mengundang kita untuk tinggal dan hidup melekat dengan-Nya.

Seharusnya pengorbanan Kristus menggerakkan kita untuk mengerjakan pemuridan. Apakah kita mau menjadi biji gandum yang mati dalam mengerjakan pemuridan di siswa dan mahasiswa? Di dalam pemuridan, orang percaya ditantang untuk meninggalkan dosa dan mengejar keserupaan dengan Allah. Grant Skeldon mengatakan bahwa “Pemuridan selalu lebih baik ditangkap daripada diajarkan”. Para murid tidak akan pernah siap untuk mencapai keserupaan dengan Kristus kalau hanya duduk diam dengan Yesus di depan mereka. Mereka perlu mengikuti-Nya.

Namun, pada kenyataannya yang sering ditemukan adalah kita senang untuk dilayani, dimuridkan, dan ikut KTB. Namun, ketika kita yang telah dimuridkan ditantang untuk mengerjakan pemuridan, kecenderungan kita adalah menghindar. Sering ditemukan berbagai alasan ketika bidang KTB melakukan follow-up dari berjalan atau tidaknya KTB. Alasannya tidak jauh dari, “Saya sibuk!”, “Saya masih harus mengerjakan hal ini”, atau, “Saya tidak ada waktu”. Banyak penundaan yang terjadi karena ketidakrelaan menjadi biji gandum yang mati. Kita tidak menyadari bahwa yang sedang kita lakukan adalah mengabaikan orang yang telah Tuhan percayakan. Tanpa kesadaran dari seorang pemimpin rohani bahwa yang sedang ia kerjakan adalah membentuk murid, maka jangan harap akan ada buah yang sejati dari pemuridan itu.

Lalu bagaimana respons kita terhadap pengorbanan Yesus dengan pemuridan kita hari ini? Kebenaran sejatinya ialah setiap orang percaya harus memiliki sikap hati sebagai seorang murid. Murid yang bukan hanya sekadar followers, tetapi murid yang mau memikul salib. Murid yang dengan sungguh mau mendengar Sang Guru Agung. Murid yang memiliki hati yang mau dan bersedia untuk dibentuk. Seperti Amanat Agung yang Yesus berikan kepada para murid sebelum Ia naik ke surga dalam Matius 28:18-20,Yesus mendekati mereka dan berkata: ”Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.””

Biarlah Amanat Agung ini mengobarkan terus visi pemuridan kita! Soli Deo Gloria!

Referensi:

Biji Gandum - Hamba yang Setia Hingga Akhir (Grasia Kristiana)

Generasi Penuh Hasrat (Grant Skeldon)

Gnade Natasya

Staf Mahasiswa Perkantas Jabar